Ahli virus Universitas Udayana Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika mengingatkan masyarakat untuk meminimalkan pemanfaatan pendingin udara di mobil dan ruangan tertutup. Alasannya, pandemi COVID 19 dapat hidup dan berkembang dengan sempurna pada suhu rendah dan kelembaban rendah. Pada masa kenormalan baru (new normal) masyarakat harus menyadari lebih berkeringat akan lebih aman dari serangan virus.
Hal itu diungkapkan Prof. Mahardikan dalam rapat khusus pembahasan draft standar operating prosedur (SOP) manajemen kepariwisataan menuju new normal yang diikuti para peneliti Pusat Unggulan Ipteks Pusat Unggulan Pariwisata Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (PUI-PUPAR LPPM) Unud, Selasa (9/6/2020).
Guru Besar FKH Unud ini menyarankan agar disain ruangan rumah, kantor, maupun akomodasi wisata (hotel dan restaurant) dengan pencahayaan sinar matahari dan sirkulasi udara yang maksimal. “ Kebiasaan bekerja di ruang ber AC dan sirkulasi udara yang minim harus dirubah menghadapi new normal. Virus dapat hidup secara baik pada suhu 20 0c dan kelembaban 40 – 70%. Jadi ruangan ber-AC dalam waktu yang relatif lama sangat rentan kena serangan COVID-19,” tutur Prof. Mahardika. Ditambahkan, virus dapat menular penyakit tergantung dosisnya dan ruang tertutup dengan suhu rendah dapat meningkatkan dosis virus.

Indonesia yang berada di daerah tropis dengan kelembaban rata-rata 80%, katanya, secara teoritis memiliki “keunggulan” dalam mengatasi pandemic COVID-19. Alasannya temperature yang tinggi dan kelembaban udara tinggi di Indonesia akan dapat merusak virus. Hal ini berarti beraktivitas di ruang terbuka yang mendapatkan sinar matahari langsung menjadi pilihan tepat menangkal COVID-19. Udara panas, lanjutnya, dapat melarutkan virus sehingga kadar dosisnya diudara berkurang.
Prof. Mahardika menambahkan pembukaan daya tarik wisata (DTW) pantai atau pengunungan dengan alam terbuka sejatinya relatif aman atau beresiko rendah dari penyebaran pandemi COVID-19. Sementinya restaurant/ rumah makan yang memiliki ruang terbuka dengan sinar matahari dapat dibuka karena COVID-19 mudah rusak di area seperti itu. Hanya saja diingatkan, protokol kesehatan seperti sabun cuci tangan dan pakai masker tetap harus ditaati semua pihak. Pihak pengelola akomodasi pariwisata, katanya, sebaiknya menyediakan keset basah atau kolam air kecil dengan disinfektan didekat pintu masuk. Setiap pengunjung atau pendatang harus membasahi sepatunya dengan cairan disinfektan untuk mematikan virus. “Siapa tahu ada pengunjung baru dating dari rumah sakit atau sentrum2 penyebaran virus lainnya, sehingga virusnya bisa diseterilkan dengan cairan disenfektan,” paparnya.

Jika masyarakat harus beraktivitas diruangan tertutup dan ber-AC, Prof. Mahardika menyatakan ada dua cara untuk menjaga kesehatannya. Pengelola gedung harus menyediakan lampu sinar ultraviolet (UV), untuk ruangan dengan luas 3 x 3 M2 perlu menyediakan lampu sinar UV 50 Watt. Cara lainnya, kata Prof. Mahardika, pengelola melakukan fumigasi atau penguapan dengan cairan formalin. Metode penerapannya, kata Prof. Mahardika, petugas menyalakan sinar UV atau melakukan fumigasi ketika tidak ada orang diruangan, setelah karyawan pulang sehingga tidak berpengaruh pada kesehatan manusia. “Misalnya pengelola hotel, ketika tamunya check out, langsung dilakukan fumigasi kamarnya selama 24 jam sebelum dihuni tamu yang lain berikutnya, sehingga kamarnya betul-betul steril,” katanya.
Secara khusus Prof. Mahardika menekankan pengelola DTW yang memanfaatkan hewan sebagai atraksi utama seperti kera di Uluwatu, Monkey Forest Ubud dan Alas Kedaton, maupun kelelawar di Gua Lawah serta kebun binatang lainnya agar lebih berhati-hati dalam membuka DTWnya. Kera yang memiliki kemiripan anatomi dengan manusia dapat saja tertular COVID-19 dari pengunjung dan menularkan kembali kepada manusia. Sementara itu, kelelawar juga berbahaya karena sejarah COVID-19 bertama kali ditemukan menjangkiti kelelawar dan bermutasi ke manusia di Kota Wuhan, Cina. “Hal ini memerlukan SOP Kesehatan khusus agar betul-betul aman,” katanya.

Rapat yang diikuti peneliti Pupar dengan berbagai latar belakang keilmuan itu berjalan baik, terjadi diskusi hangat berkaitan dangan hal-hal rinci penyusunan SOP Kesehatan bagi aktivitas kepariwisataan. Ketua PUPAR Unud Dr. Agung Suryawan Wiranatha bersama sekretaris Pupar Nyoman Ariana, SSTPar, M.Par yang memimpin jalannya rapat mengungkapkan draft SOP yang diinisiasi Prof. Mahardika disempurnakan melalui rapat dan akan disampaikan sebagai rekomendasi kepada pemangku kepentingan pariwisata lainnya terutama pemerintah selaku pemegang kebijakan. Dr. Agung Suryawan mengakui pemerintah dan lembaga lain sudah menyusun protokol kesehatan dan rekomendasi ini dapat dijadikan pertimbangan khusus untuk diterapkan. “SOP ini kan disusun ahli virus, Prof. Mahardika yang meniliti virus bertahun-tahun tentu mampu memberikan strategi khusus agar pembukaan pariwisata di new normal betul-betul aman. Dalam artian aktivitas pariwisata dapat berjalan, kesehatan wisatawan, pengelola dan masyarakat tidak terganggu karena COVID-19,” tegasnya. Kondisi ideal di new normal tersebut, lanjutnya, sepanjang semua pihak taat dan disiplin mengikuti SOP yang direkomendasikan tersebut. (sar).