Wakil Rektor I Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, MP., IPU mengamati bahwa ada kegelisahan ditengah masyarakat terkait perkembangan situasi kepariwisataan pasca pandemi Covid-19. Isu overtourism dan ekses negatif pariwisata telah mengusik kedamaian Bali ketika jalanan macet, atau tumpukan sampah yang mengakibatkan banjir. “Unud punya Pusat Unggulan IPTEK Pusat Unggulan Pariwisata Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (PUI PUPAR) yang menjadi kebanggaan. Unud merasa terpanggil untuk berupaya memberikan solusi agar keresahan itu mereda,” tutur Prof. Rai Maya Temaja saat membuka acara focus group discussion (FGD) bertajuk refleksi kepariwisataan Bali berbasis budaya, Bertanggungjawab dan Berkelanjutan di Ruang Nusantara, Gedung Agrokomplek Kampus Unud Jl. Sudirman Depasar pada Kamis (6/3).
Ditekankan, PUPAR sebagai PUI satu-satunya berbasis pariwisata di Indonesia memiliki peran penting dalam pembangunan kepariwisataan khususnya Bali. FGD ini, katanya, menjadi sarana efektif dalam memetakan masalah, menyamakan persepsi antar pemangku kepentingan serta mencari solusi. “Hasil FGD nanti bisa disampaikan kepada pihak penentu kebijakan untuk dijadikan pertimbangan dalam membuat kebijakan publik bidang pariwisata,” tuturnya.
Ketua PUPAR Prof. Agung Suryawan Wiranatha, Ph.D menjelaskan pihaknya telah berupaya memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas manajemen kepariwisataan melalui program penelitian, kerjasama daerah maupun pendampingan atau pengabdian masyarakat. “Sebelum Covid-19, kami melakukan rembug pariwisata secara rutin untuk mencari solusi atas berbagai masalah yang mengemuka. Pasca pandemi ini merupakan FGD pertama,” tuturnya. Ditambahkan, FGD tersebut dihadiri sekitar 50 peserta dari elemen pemangku kepentingan pariwisata Bali baik pemerintahan, asosiasi, tokoh masyarakat, media dan juga akademisi.
Dalam diskusi terungkap kontribusi sektor pariwisata terhadap pendapatan asli daerah Bali hingga 66,6% namun hal tersebut tidak serta merta memperbaiki kualitas hidup krama Bali. Berdasarkan laporan kebahagian masyarakat di seluruh Indonesia, tingkat kebahagiaan krama Bali hanya bercokol di urutan 33 dari 38 provinsi. Artinya, sektor pariwisata kerap menjadi sumber masalah yang menyebabkan kualitas hidup krama Bali semakin melemah.
Peserta FGD Dr. Gusti Kade Sutawa, SE., MM., MBA menginventarisasi permasalahan ternyata pariwisata Bali. Diuraikan ada enam masalah mendasar yang dihadapi kepariwisataan Bali saat ini antara lain: Masalah kemacetan (Kuta, Jimbaran, Canggu), Pengelolaan sampah, Infrastruktur (jalan), Suprastruktur (aturan yang dibuat), Imigrasi (orang asing berbisnis di Bali, menabrak aturan), dan Kriminalitas di Bali. “Orang asing terlalu mudah berbisnis dan membuat miniature dari negeri asalnya terbukti ada istilah Kampung Rusia, hal ini harus ditertibkan,” jelasnya. Dekan Fakultas Pariwisata Unud Dr. I Wayan Suardana, S.TPar., MPar. menyimpulkan kondisi pariwisata Bali tidak sedang baik-baik saja. “Harus ada definisi jelas terkait pariwisata budaya dan tidak dipakai kepentingan tertentu. Selanjutnya, SDM pariwisata Bali masih lemah (kurang kreativitas), mereka harus mengembangkan kapasitasnya sehingga mampu beradaptasi dengan pergeseran teknologi dalam pengelolaan pariwisata.
Ketua DPC Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia Kabupaten Badung Ida Bagus Rai Suryawijaya menekankan permasalahan yang terjadi akibat aturan yang terlalu ringan. “Seorang wisatawan yang mendapat visa selaku investor dengan modal hanya Rp. 10 M, mereka menyewa tanah dan membangun villa beberapa kamar, selanjutnya mempekerjakan teman-temannya dari negara asal secara illegal,” tegasnya.
Tokoh masyarakat dari paiketan krama Bali Dr. Wayan Jondra mengaku prihatin dengan kondisi masyarakat Bali yang gandrung bunuh diri baik secara spontan (gantung diri atau menegak racun) dan pelan-pelan. “Ada kecendrungan orang Bali belog ajum yakni hanya menjual atau menyewakan tanah atau villa kepada orang asing. Karena mendewakan orang asing membuat krama Bali akan mati pelan-pelan,” tegas mantan komisioner Provinsi Bali. Menanggapi kondisi ini Guru besar UNHI Prof. Dr. I Wayan Muka menyarankan pentingnya evaluasi regulasi, terutama banyaknya taksi online illegal yang dikemudikan ugal-ugalan di jalan yang memicu kemacetan dan lain-lain.
Guru Besar Pariwisata Unud Prof. Dr.Ir. I Gde Pitana, M.Sc. menyatakan permasalah makro kepariwisata Bali adalah tidak konsistennya pemerintah menjalankan aturan yang sudah dibuat untuk perbaikan tata kelola pariwisata Bali. “Contohnya, sudahkah ada penegakan aturan agar hotel di Bali memiliki parkir? Nyatanya masih banyak tamu hotel memarkir kendaraan di badan jalan yang dapat memicu kemacetan,” tukas akademisi yang pernah memangku beberapa jabatan di Kemenpar RI itu. Sosiolog ini mengaku prihatin mendapati manusia Bali terjepit yakni di level atas dalam hal investasi kalah bersaing dengan orang asing, sedangkan di level pekerjaan kasar juga tidak mampu melawan gempuran tenaga kerja murah dari luar pulau.
Ketua DPD AHLI Bali Ketut Swabawa mencermati masalah Bali saat ini karena rendahnya pemahan krama Bali terkait sapta pesona. “Pariwisata dilihat sebagai kesempatan berdagang, dan Sapta Pesona kurang mendapat perhatian,” tegasnya. Ditambahkan, carut marutnya pariwisata Bali dipicu oleh adanya Gerakan work from Bali pada pemulihan Covid-19. Samapai saat ini aturan tersebut belum dicabut atau dievaluasi sehingga banyak wisatawan yang arogan di Bali karena persepsi mereka bahwa kehadirannya sangat dibutuhkan di Bali.
Sejalan dengan itu Ketua ASITA Bali Putu Winastra menekankan bahwa regulasi kepariwisataan Bali tidak jelas. Penegakan aturan yang tidak pernah ada, tegasnya, pelaku pariwisata Bali yang taat aturan merasa diperlakukan tidak adil. “Jangan salahkan banyak teman-teman dari asosiasi cuek dengan himbauan pemerintah,” tegas pengusaha asal Bangli itu. Anggota DPD RI Bali Ida bagus Rai Darmawijaya Mantra menyimpulkan bahwa permasalahan pariwisata Bali karena lemahnya koordinasi dan sinergi pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat dalam menangani permasalahan sesuai kewenangan.
FGD tersebut juga dihadiri Kadis Pariwisata Bali Tjok Bagus Pemayun dan mantan Wakil Gubernur Bali Prof. Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati dan juga staf ahli Ketua DPRD Bali Sudiana. Mereka mengakui semua permasalahan yang diuraikan tersebut merupakan fakta lapangan yang tak terbantahkan. Pejabat dan mantan pejabat tersebut mengharapkan kolaborasi semua pihak mengatasi berbagai masalah yang munncul. Kadispar Baili Tjok Bagus Pemayun menuturkan selain ekses negatif ada juga hal positif yang sudah di jalankan yakni pungutan wisatawan asing (PWA) saat ini nilai uang yang terkumpul mencapai Rp. 318 M. “PWA dibayarkan secara online/digital sehingga tidak terjadi kebocoran,” tegasnya tanpa menjelaskan alokasi dana PWA akan dimanfaatkan untuk apa saja.
Ketua PUPAR Prof. Agung Suryawan Wiranatha, Ph.D. yang bertindak selaku moderator mengusulkan bisa saja dana PWA dialokasikan untuk beasiswa genarasi muda Bali yang memiliki kemampuan akademik unggul untuk kuliah di LN. Langkah ini menjadi langkah nyata Pemprov Bali tidak semata-mata bicara pembangunan fisik. (sar)