
Pandemi COVID-19 menjadikan pendapatan masyarakat Desa Adat Kedonganan dari sektor pariwisata menurun drastic hingga 70-80%. Akibatnya, sebagian pengelola café di Desa Kedonganan kembali menggeluti profesi nelayan yang telah lama ditinggalkan. Nelayan “kambuhan” ini disebut warga setempat sebagai nelayan COVID. Sementara itu, Nusa Dua diproyeksikan sebagai kawasan percontohan penerapan program Cleanliness, Healty, dan Safety (CHS) sebagai protocol baru manajemen pariwisata pasca berdamai dengan COVID 19.
Dua isu penting ini muncul pada webseminar (webinar) bertajuk “Nafas Desa Di Bali Di Masa Pandemi” pada Sabtu, 23 Mei 2020 Pukul 16.00 – 18.00 Wita melalui aplikasi Webex. Webinar yang diselenggarakan Pusat Penelitian Kebudayaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unud dibuka Rektor Unud Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SP.S(K) dan dipandu Koordinator Puslit Kebudayaan Unud Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. Webinar ini juga didukung Jurnal Kajian Bali, sebuah jurnal ilmiah yang dikelola bersama Puslit kebudayaan dan Pusat Unggulan Pariwisata LPPM Unud.


Dalam sambutannya Prof. Raka Sudewi menyatakan gembira atas kretiavitas peneliti Unud tidak mandek walau bekerja dari rumah atau work from home. “Semoga ide-ide yang muncul pada webinar ini dapat dimanfaatkan untuk menunjang rekayasa sosial menyambut new normal pasca pandemi COVID 19,” ujar rektor perempuan pertama di Unud itu.
Kesulitan Ekonomi
Sementara itu Bendesa Adat Kedonganan, Dr. I Wayan Mertha, SE., M.Si memaparkan masyarakat Kedonganan mengalami kesulitan ekonomi yang sangat berat pada masa pandemi COVID 19. Sebagian masyarakat Kedonganan yang berstatus sebagai pengusaha nelayan karena memiliki peralatan tangkap ikan dan mempekerjakan nelayan luar Bali, kini turun langsung sebagai nelayan.
Kegiatan menangkap ikan kembali dilakoni, karena pemasukan mereka dari mengelola café di Pantai Kedonganan tidak ada akibat aktivitas pariwisata ditutup. “Nelayan ini disebut nelayan COVID oleh warga Kedonganan,” seloroh dosen Poltekpar ini.
Dijelaskan, Desa Kedonganan dengan luas 1,91 km2 yang terbagi dalam enam banjar adat. Krama pengarep Desa Adat Kedonganan sebanyak 1.198 KK atau 5.111 orang, mereka ini menjadi pemilik 54 café yang menjual seafood di sepanjang Pantai Kedonganan. Sementara itu karma tamiu sebanyak 586 orang dan tamiu 2.427 orang. Akibat COVID 19, lanjut Dr. Wayan Mertha, aktivitas kepariwisataan di Pantai Kedongana dihentikan per 22 Maret 2020.
Kondisi ini menyebabkan 1.100 pekerja dirumahkan alias kehilangan pekerjaan. Hal ini berarti 1.200 KK masyarakat Kedongan kehilangan pendapatan bulanan dari bagi hasil pengelolaan café.
Peran Penting Desa Adat
Guru Besar Hukum Adat Unud Prof. Dr. Wayan P. Windia, SH.,MH menjelaskan desa adat memiliki peran penting dalam mencegah penyebaran virus COVID 19 di Bali. Keberhasilan Bali menjadi provinsi yang mendapatkan predikat terbaik dalam penanganan COVID 19 di Indonesia karena partisipasi 1.493 yang membentuk satgas gotong royong pencegahan COVID 19.


“Kenapa desa adat terlibat menangani COVID 19 dikarenakan pola penyebaran COVID 19 dengan transmisi antar manusia. Kondisi ini berbeda dengan penyebaran virus deman berdarah yang nyamuk sebagai vector penyebarannya dimana nyamuk disemprot dan sarang nyamuk dimusnahkan maka penyakitnya hilang,” tegas guru besar humoris ini.
Prof. Windia menjelaskan posisi desa adat yang relative kuat karena dipatuhi krama sehingga desa adat dapat membantu mendorong rekayasa sosial memutus penyebaran COVID 19 dengan kegiatan sekala dan niskala. Kegiatan sekala, lanjutnya, meneruskan anjuran pemerintah untuk sering cuci tangan dan menggunakan masker sedangkan secara niskala desa adat mengajak masyarakat melaksanakan upacara keagamaan agar terhindat dari mara bahaya COVID 19.
Setia pada Bali
Sekjen Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Wayan Giri Adnyani mengakui pariwisata Bali dalam keadaan terpuruk akibat wabah COVID 19. Namun demikian, kata birokrat asal Tabanan ini, wisatawan internasional masih sangat setia menjadikan Bali sebagai destinasi favoritnya. “Terbukti wisatawan asal Eropa banyak menanyakan kapan Bali dibuka lagi untuk dikunjungi,” tegas Wayan Giri Adnyani.
Menyambut kemungkian dibukanya aktivitas kepariwisataan di Indonesia dalam waktu dekat, Giri Adnyani menyatakan pihaknya sudah berdiskusi wagub Bali dan Kadiparda Bali untuk menerapkan protokol kesehatan dalam menerima wisatawan pasca pandemi COVID 19. Kemenpar, katanya, sudah menyiapkan kebijakan CHS (Cleanliness, Healthy, dan Safety).
Rencana program ini akan diuji di kawasan Nusa Dua dengan alasan lebih mudah dikontrol. Wayan Giri Adnyani belum dapat memastikan waktu pelaksanaan CHS mengingat pihaknya menunggu usulan dari Pemprov. Bali.
Webinar melibatkan peserta dari empat benua yakni Australia, Asia, Afrika dan Eropa. Peserta yang mendaftarkan diri sebanyak 652 orang namun yang bisa mengikuti via aplikasi webex sebanyak 412 orang, sisanya menyaksikan melalui siaran langsung di kanal youtube. Dua peserta yang cukup istimewa adalah Ketua Balitbang Kabupaten Badung Dr. Wayan Suambara dan Duta Besar RI Untuk Zimbabwe, Afrika Dewa Made Juni Sastrawan.
Dr. Wayan Suambara mengakui kesulitan masyarakat Kedonganan juga dialami Pemkab Badung karena PAD Badung saat ini hilang hingga 60-70%. Lebih memprihatinkan lagi dari Rp. 700 M dana alokasi umum (DAU) Badung hanya dialokasikan pemerintah pusat Rp. 340 M atau 48%. Kondisi ini menyebabkan Badung kesulitan keuangan sehingga alokasi bantuan ke-6 kabupaten di Bali dihentikan.
“Bayar gaji pegawai saja Pemkab Badung masih kesulitan,” pungkasnya. (Sar)