Kemenparekraf menekankan penerapan standar CHSE atau Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment (Ramah lingkungan) pada destinasi super prioritas (DSP) menjadi tolok ukur pengembangan quality tourism (QT) dan sekaligus tolok ukur pemulihan pariwisata Indonesia pasca Covid-19. Sertifikan CHSE harus dikantongi pengelola akomodasi, restoran, transpotasi maupun destinasi pariwisata. Jadi penerapan CHSE harus dilakukan secara konsisten dan sesuai SOP (standard operational procedure) termasuk pada pengelolaan Destinasi Super Prioritas (DSP) Danau Toba, Borobudur, dan Labuan Bajo yang menjadi lokasi kajian pengembangan QT di Indonesia perlu medapatkan perhatian lebih khusus.
Isu tersebut menjadi topik diskusi yang hangat pada presentasi Laporan Pendahuluan Kajian Pemulihan Pariwisata Indonesia Melalui Pariwisata Berkualitas yang disampaikan tim peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana (Pupar Unud) dihadapan pimpinan dan staf Direktorat Kajian Strategis Kemenparekraft. Penyampaian laporan tersebut disampaikan secara daring dari Kantor Pupar Unud di Gedung LPPM Lt. 2 Kampus Unud Bukit Jimbaran, Senin (12/4). Tim Peneliti Pupar yang menyampaikan laporan dipimpin Dr. Agung Suryawan Wiranatha selaku ketua tim peneliti, Nyoman Ariana, M.Par sekretaris peneliti yang mempresentasikan laporan didamping anggota tim peneliti lainnya meliputi Prof. Nyoman Darma Putra, Dr. Ida Bagus Gde Pujaastawa, Anak Agung Raka Dalem, M.Sc (Hons) dan I Made Sarjana, M.Sc.
Dini Andini peneliti pada Direktorat Kajian Strategis Kemenparekraf meminta tim peneliti Pupar menyusun parameter detail dari penerapan CHSE pada destinasi sebagai variabel dalam kriteria pengembangan destinasi QT. “Perlu sub varibel, penerapan CHSE terkait dengan sarana dan prasaran untuk CHSE. Di masa depan unsur amenitas sebuah destinasi harus diperkuat dengan penerapan CHSE. Jadi, dalam upaya mempercepat pemulihan pariwisata Indonesia maka pelaksanaan kebijakan CHSE oleh pemerintah harus dilakukan pangawasan, jangan sampai kebijakan diatas kertas bagus tetapi praktiknya berbeda,” tegas peneliti muda itu. Dini menambahkan distribusi vaksin dan pelaksanaan vaksinasi untuk pelaku wisata pada destinasi dijadikan pertimbangan pengembangan QT pasca Covid-19.
Aspek lain dalam pengembangan QT di Indonesia adalah perlunya benchmarking kriteria QT di negara maju, pentingnya partisipasi masyarakat, maupun nilai-nilai kearifan lokal. Peneliti Direktorat Kajian Strategis Ari Prasetyo meminta tim peneliti pupar untuk melakukan studi literatur lebih komprehensif berkaitan dengan pengembangan QT di negara-negara maju. “Menurut saya pelaksanaan QT di Australia sudah sangat maju, mungkin dapat dijadikan benchmarking pada kajian pengembangan QT pada DSP,’’ kata Ari Prasetyo.
Sedangkan Raditya mengajak Tim Peneliti Pupar untuk melihat hubungan timbal balik antara pengembangan QT dan partisipasi masyarakat. “Apakah semakin berkualitas destinasi pariwisata maka partisipasi masyarakat akan semakin baik nantinya? Jika hal ini terjadi maka anggapan bahwa QT memiliki karakter yang ekslusif dapat dibantah,” tutur Raditya. Selanjutnya, peneliti Tatang Rusada berharap agar kajian pemulihan pariwisata Indonesia melalui pariwisata berkualitas menitikberatkan pada eksplorasi nilai-nilai kearifan lokal pada masing-masing DSP untuk penguatan pengelolaan QT. Bali, menurut Tatang, aktivitas kepariwisataannya berkembang pesat dan pengelolaannya cukup berkualitas karean adanya nilai-nilai kearifan lokal yang diimplementasikan pada manajemen kepariwisataannya.
Peneliti lainnya Norman dan Basuki Antariksa menekankan penting unsur kolaborasi dan penciptaan hubungan yang harmonis dalam pengelolaan destinasi QT. Basuki Antariksa menduga pada destinasi pariwisata yang sudah berkembang baik, hubungan yang tidak harmonis antar stakeholders ditutup-tutupi. Kondisi ini seperti api dalam sekam, yang suatu ketika bisa meletup kepermukaan sehingga muncul konflik kepentingan yang sulit dicarikan solusinya dan dapat menurunkan citra QT pada destinasi bersangkutan. “Tantangan pengembangan QT, ketika terjadi pertentangan antara industri dan lingkungan maka yang akan menang adalah kepentingan menang. Kondisi ini sering disebut sebagai kondisi over tourism. Perlu dibuatkan rekomendasi ke pemerintah agar menyusun kebijakan jangan sampai kepentingan lingkungan kalah terus karena dapat menjadi bumerang bagi QT maupun ST,” ungkap Basuki Antariksa.
Dr. Agung suryawan Wiranatha menyambut baik berbagai masukan yang disampaikan tim peneliti Direktorat Kajian Strategis Kemenparekraf selaku partner dalam kerjasama penelitian tersebut. Ketua Pupar ini mengakui kendala utama dalam membangun destinasi pariwisata berkualitas karena adanya konflik interest antar pemangku kepentingan. “ Jangankan destinasi wisata yang dimiliki banyak kabupaten seperti Danau Toba, destinasi wisata yang lain ada disatu kabupaten sulit berkembang sebagai QT akibat konflik interest tidak ditemukan solusi penyelesaiannya. Misalnya, pada sebuah danau dinas pertaniannya menginginkan sebagai pusat minapolitan sedangkan dinas pariwisatanya mengembangkan sebagai daya tarik wisata. Definisi peruntukkan yang kontradiktif ini sulit dipertemukan, sehingga danau yang memiliki potensi pariwisata yang besar tidak dapat dijadikan destinasi wisata unggulan,” tegas Dosen FTP Unud itu.
Dua anggota peneliti Pupar dari Fakultas Ilmu Budaya Unud Prof. Darma Putra dan Dr. Pujaastawa menanggapi masukan yang berbeda. Prof. Darma Putra menyatakan cukup sulit pengembangan QT dengan berkiblat pada pelaksanaan QT di negara tertentu. “Berdasarkan kajian literature dan pengalaman saya berkunjung ke beberapa negara, memang tidak ditemukan kesamaan SOP pengembangan QT. Hal ini disebabkan karakteristik QT di masing-masing negara sangat berbeda, jadi setiap negara mengembangkan kriteria QT dengan keunggulan potensi wisata dan faktor pendukung yang dimiliki,” ujar guru besar FIB tersebut. Sedangkan Dr. Pujaastawa menyatakan partisipasi masyarakat menjadi faktor penting dalam pengembangan QT untuk destinasi QT berbasis kerakyatan. Dia meyakini kontribusi masyarakat sesuai kompetensinya akan mampu melahirkan produk wisata berkualitas yang sesuai dengan ekspektasi wisatawan.
Nyoman Ariana menyatakan pengembangan QT menjadi kunci dalam percepatan pemulihan pariwisata nantinya. Untuk itu, kerjasama antara Pupar dan Direktorat Kajian Strategis diyakini dapat membawa manfaat bagi semua pihak terutama bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari sektor pariwisata. Direktur Direktorat Kajian Strategis Wawan Rusiawan setuju dengan pendapat Nyoman Ariana. “Diskusi ini dapat memperkuat baseline penelitian, dan hasil penelitian dapat memberikan rekomendasi yang jelas kepada masing-masing stakeholders. Misalnya, rekomendasi DSP Danau Toba akan disampaikan kepada siapa saja dengan pesan-pesan spesifik masing-masing kabupaten yang mewilayahi. Selama ini ada perbedaan kepentingan dari masing-masing kabupaten. Salah satu dampak perbedaan kepentingan itu adalah kerusakan lingkungan yang terjadi di DSP Danau Toba. Jadi rekomendasi penelitian ini diharapkan mampu menyediakan flatform agar masing-masing kabupaten di Danau Toba dapat membangun sinergi atau kolaborasi yang harmonis,” tegas Wawan Rusiawan. (Sar)