Melihat jejak sejarah Bali sangat penting dilakukan untuk introspeksi diri atau mencari obat atas “penyakit” yang sedang dihadapi. Sebagai contoh dalam pengembangan pariwisata budaya, jika hanya menonjolkan artefak atau aspek kebendaan dari peninggalan sejarah sebagai daya tarik wisata maka pengalaman wisata yang disuguhkan kepada wisatawan sangat terbatas. Pusat Ungulan Pariwisata Unud harus mendorong pengembangan wisata edukasi dan konservasi dalam upaya menunjang pariwisata berkualitas.
Hal itu diungkapkan oleh Koordinator Staf Khusus Presiden RI Anak Agung Gede Ngurah (AAGN) Ari Dwipayana saat bertindak selaku keynote speaker pada Webinar “Śri Kesarī Warmadewa — Menjenguk Kembali Proses Pemberadaban Bali” Kamis (4/2) via zoom meeting. Webinar tersebut diselenggarakan Pusat Unggulan Pariwisata Unud bekerjasama dengan Paiketan Krama Bali, yang dipandu Nyoman Merta. Hadir sebagai pemakalah utama pembaca manuskrip lontar Bali dan Jawa Kuno, Sugi Lanus, dan diikuti berbagai kalangan peminat kajian sejarah Bali.

Ari Dwipayana menjelaskan wisata edukasi dan wisata konservasi dapat dilakukan memaknai nilai-nilai kesejarahan Bali yang dikemas dalam cerita atau story yang baik. “Dari jejak sejarah peradaban Bali yang sangat bernilai tinggi ini, tinggal dikembangkan metode story-nya saja. Kita lemah di storytelling, sehingga wisatawan tidak dapat menangkap nilai-nilai atau makna dari artefak budaya yang ada,” tuturnya. Akademisi UGM ini mengingatkan agar masyarakat Bali tidak lupa menjaga kelestarian lingkungan terutama daerah aliran sungai, sebagai sumber air dan peradaban masyarakat Bali. Alasannya di lembah sungai banyak dibangun tempat pemujaan, pertapaan dan pusat pemerintahan dan orang Bali sejak dulu menjaga air sebagai sumber penghidupan atau peradaban air atau Gama Tirtha.

Ditegaskan dengan mengembangkan wisata edukasi dan konservasi maka pariwisata berkualitas dapat dikembangkan dengan baik di Bali. Wisatawan yang berkunjung ke Bali, katanya, memahami nilai-nilai budaya Bali sehingga mereka lebih respek terhadap adat dan tradisi masyarakat lokal. Misalnya, wisatawan mengenal makna “leteh” jika mereka melakukan aktivitas yang tidak patut atau dilarang dalam tradisi Bali. Pejabat asal Ubud, Gianyar ini mengajak elemen masyarakat Bali untuk membangun story dari artefak kebudayaan Bali sehingga dapat mengembangkan pariwisata berkualitas dan berkelanjutan.

Narasumber Sugi Lanus memaparkan hasil kajiannya fokus pada sejarah Bali antara tahun 500-1000 Masehi berdasarkan berbagai prasasti yang dieksplorasinya. Dijelaskan, dirinya tergugah membaca prasasti-prasasti Bali karena dorongan penyair WS Rendra sekitar dua dekade silam. Dia pun belajar membaca aksara Bali dan Jawa Kuno agar mampu memenuhi “tantangan” tersebut. Selain itu, Sugi Lanus juga belajar Bahasa Belanda agar mampu membaca tulisan sejarah Bali yang ditulis peneliti di Jaman Belanda. Selanjutnya, Sugi Lanus menguraikan pengetahuannya yang mendalam berkaitan dengan kekuasaan Raja Bali Sri Kesari Warmadewa yang diperkirakan berkuasa di Bali tahun 1914, dan dilanjutkan Sri Ugrasena tahun 915- 942. Hanya saja Sugi Lanus tidak bisa memastikan apakah Sri Ugrasena ini orang yang sama dengan beda sebutan, atau orang yang sama sekali berbeda yang bertahta di Bali saat itu. Selanjutnya ada beberapa penguasa di Bali setelah itu, dan akhirnya Prabu Udayana berkuasa antara 989 – 1001. Diskusi pada webinar berlangsung menarik, mengingat peserta ingin mendapatkan penjelasan lengkap tentang peran para leluhur yang berkuasa di Bali dan perannya terhadap penataan lingkungan dan kelembagaan sosial di pulau dewata ini. (sar)
Materi lengkap ada pada: https://www.youtube.com/watch?v=bihJQu01Rg0&t=4s