Kalangan peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana melakukan diskusi digital melalui group WA. Diskusi ini boleh jadi renungan awal tahun terkait manajemen pembangunan sektor pariwisata di Provinsi Bali. Diskusi hangat tersebut menyoroti terkait agresivitas pedagang acung yang menjadi ancaman serius keberlanjutan pariwisata di pulau surga ini. Berikut laporan I Made Sarjana terkait diskusi awal tahun 2020 tersebut.
Diskusi dibuka dari ungkapan rasa keprihatinan peneliti Pupar Unud asal Fakultas Teknik Unud Dr. Ir. Agus Dharma, MT terkait maraknya keluhan wisatawan terhadap prilaku pedagang acung yang sering membuat wisatawan tidak nyaman. “Jumpa tamu dari Rusia yg tinggal di Sydney. Dia merasa terganggu dengan ulah pedagang acung di kawasan pantai Bali Selatan. Dia mengaku tidak dapat menikmati liburan pantai karena kehadiran pedagang acung yang menawarkan barang dagangan dengan cara memaksa,” Ungkap Agus Dharma.
Persoalan tersebut diakui Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Unud Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA yang menyatakan punya pengalaman pahit menghadapi prilaku kurang menyenangkan pedagang acung. ” Ini masalah yg muncul dimana-mana, wisatawan dianggap dompet berjalan dan mereka berkunjung ke daya tarik wisata seolah-olah wajibkan untuk berbelanja, padahal wisatawan juga manusia biasa seperti penduduk lokal, mereka tidak selalu harus belanja saat menikmati pengalaman berwisata,” paparnya. Lebih jauh, Prof. Ardika menuturkan pengalamannya mendampingi kolega dari luar negeri berkunjung ke kawasan wisata pegunungan di Bali Tengah. Kolega Prof. Ardika ditawari papan catur setengah memaksa oleh pedagang acung padahal sang tamu tidak berminat. Ketika Prof. Ardika pun berusaha mengingatkan pedagang acung untuk tidak memaksa tamu, penulis sejumlah artikel berkaitan dengan pariwisata budaya ini mendapat tanggapan tak terduga. “Kalau tamunya tak belanja, jangan dibawa kemari,” ucap pedagang acung ketus seperti ditirukan Prof. Ardika.
Wakil Dekan II Fakultas Pariwisata Unud Dr. I Nyoman Sudiarta, SE, M.Par menyatakan pemaksaan pedagang asongan kepada wisawan terjadi pada daya tarik wisata pantai di Bali Selatan. “ Masak pedagang asongan menjual rujak harganya sampai Rp. 200 ribu per porsi, jelas wisatawan nggak mau beli. Mereka pun marah ketika urung terjadi transaksi,” Ujar ahli pemasaran pariwisata ini prihatin. Selanjutnya, Dr. Agus Dharma pun mengaku punya pengalaman serupa saat mengantar tamu di air terjun Bali Utara, dan dia merasa malu mendengarkan kata-kata yang tidak pantas dilontarkan anak kecil yang menjajakan gelang. Agus Dharma mengaku sangat prihatin menghadapi masyarakat yang mengais rejeki di sektor pariwisata namun cara-cara yang dilakukan tidak mendukung pembangunan pariwisata itu sendiri. “Industri pariwisata untuk destinasi pariwisata perlu pengelola yg profesional. Tamu yang menginap di hotel berbintang 4/5 tapi ketika ke pantai depan hotelnya sudah tidak dijamin kenyamanannya maka citra Bali di mata wisatawan akan merosot. Kondisi ini akan saya jadikan pelajaran dalam pengembangan desa wisata. yakni pengelolaan desa wisata dikelola dengan baik sehingga wisatawan merasa nyaman untuk berkunjung,” ujar akademisi yang juga aktif mendamping pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di Desa Wisata Giri Mas Buleleng.
Ketua Pusat Unggulan Iptek – Pusat Unggulan Pariwisata (PUI-PUPAR) Unud Dr. Agung Suryawan Wiranatha mengatakan agresivitas pedagang acung menjadi cerminan sebagian elemen masyarakat Bali belum memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai sadar wisata. “Bali jadi destinasi wisata terkenal sampai keluar negeri karena anugrah Ida Sang Hyang Widhi, jika ingin pariwisata berkelanjutan maka kesadaran wisata masyarakat harus dikembangkan terus,” tutur Ketua Paiketan Krama Bali itu. Dr. Agung Suryawan mengajak peneliti Pupar untuk tidak mengenal lelah mendidik masyarakat agar mampu menjadi tuan rumah/host yang baik. Host yang baik, lanjut Dosen FTP Unud ini, jika masyarakat mampu mengimplementasikan nilai-nilai sapta pesona yakni mampu menciptakan rasa aman, berprilaku tertib, menjaga kebersihan, menciptakan suasana yang sejuk, memeliharan nilai-nilai keindahan, selalu bersikap ramah sehingga mampu memberikan kenangan yang baik bagi wisatawan. (*)