Peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana (Pupar Unud) Prof. Dr. Ir I Gde Pitana, M.Sc. mendapat kehormatan menghadiri pertemuan para ahli budaya yang bertajuk Expert meeting on “Maritime Traditional Beliefs and Practice”. Kegiatan ini dilaksanakan oleh UNESCO (khususnya Intangible Cultural Heritage), bekerjasama dengan Centre for Intangible Cultural Heritage in Asia Pasific di D Danang, Viet Nam antara 21-22 November 2019. Pada pertemuan itu Prof. Pitana didaulat mempresentasikan Budaya Maritim Krama Bali. “ Judul presentasi saya Maritime Culture Among Balinese Hindu: Ritual in Honor of the Sea and Contemporary Interpretation.
Prof. Pitana yang menjabat selaku Ketua Panitia the 3rd Bali International Tourism Conference bulan September 2019, menjelaskan undangan ini menjadi kesempatan yang sangat baik mensosialisasikan nilai-nilai kearifan local Bali terkait budaya maritim. Prof. Pitana mengakui kajian terkait pariwisata maritime masih perlu diperbanyak dan Pupar harus dapat mengambil peran lebih serius dalam pengembangan pariwisata maritime di Indonesia. “Kepercayaan UNESCO membahas budaya maritim khas Bali ini seharusnya dapat menjadi tonggak keseriusan Pupar mendalami marine tourism,” tuturnya. Dijelaskan Indonesia, sbg negara kepulauan mempunyai sejarah budaya maritim sangat panjang, dapat di trace sampei sekitar awal masehi. Pelaut Indonesia melayari hamper 2/3 dunia, dari Madagaskar sampai Pulau Paskah di Pasifik. Indonesia, lanjut Staf Ahli Kemenpar RI ini, juga pernah menjadi pusat budaya maritime, yaitu pada kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Prof. Pitana menggambarkan Bali juga mempunyai budaya maritime yang Panjang, mulai awal abad masehi, sebagaimana ditemukan oleh arkeolog Wayan Ardika di Jullah, Buleleng. Dalam susastra bdan kepercayaan Bali-Hindu, laut juga sangat sentral, dipercaya sebagai sumber penghidupan. Hal ini jelas tergambar dalam cerita Pemutaran Mandara Giri di Laut Ksirarnama, yang menghasilkan tirta kehidupan abadi (Tirtha kamandalu). Juga ada cerita ttg Dewaruci dan Bima, yg menyebutkan bahwa sumber air kehiduoan ada di dasar samudra. Dalam kepercayaan dan tradisi Bali, laut dipandang sebagai sumber air kehidupan, yang dibuktikan dengan berbagai upacara keagamaan yang dilakukan di laut, seperti Melasti, upacara pakelem, upacara karipubhaya, nganyut setelah ngaben, memulai perjalanan dalam acara Nyegara Gunung, dan sebagainya.
Lebih jauh Guru Pariwisata Unud ini menjelaskan ada banyak susastra agama tentang sad-kerti, yaitu 6 komponen alam yang harus selalu dijaga kelestariannya, salah satunya adalah Segara kerti (memelihara kelestarian laut). Namun demikian, ternyata dalam beberapa abad terakhir budaya Bali didominasi oleh budaya dataran, bahkan laut ‘ditakuti’, dianggap sebagai tempat bersemayamnya mahluk jahat atau kekuatan negativ. “Perkembangan belakangan, dengan kehadiran pariwisata, terjadi “revitalisasi budaya laut”, di mana laut kembali mendapatkan perhatian dan menjadi sumber kehidupan, melalui kegiatan marine tourism” tegasnya.
Laut sudah menjadi sumber kemakmuran, papar Prof. Pitana, sebagaimana dapat dilihat dari berbagai destinasi marine, seperti Kuta, Sanur, Lovina, Tulamben, Pantai Pandawa, Pantai Melasti, Pantai Pemuteran, Nusa Penida, Lembongan, dst. Jadi, kepercayaan atau nilai bahwa “sumber air kehidupan” ada di laut, menemukan bukti empiris melalui pariwisata. Dengan pariwisata, dengan motif ekonomi, belakangan telah terjadi perubahan paradigma dan perubahan peran masyarakat. “ Masyarakat telah mengalami perubahan prilaku dari “perusak laut”, menjadi “pemelihara laut”, sebagaimana hasil penelitian Pitana, Suryadiarta, dan Sarjana tentang Ekonomi Hijau di Pemuteran, Buleleng,” pungkasnya.(*)